Seniman
perupa memang dihargai luar biasa. Di Eropa hal tersebut diperlihatkan jelas
lewat pengabdian makam-makam seniman di tempat-tempat yang amat terhormat. Di
Florence, Italia, kuburan pematung, arsitek, dan pelukis era Renaisans
dikumpulkan di sejumlah kuil ato basilika. Dan diagungkan lewat bangunan makam
yang sangat artistik dan monumental, untuk dipertontonkan kepada masyarakat
Dunia sepanjang masa. Di gereja Santa Croce misalnya, dibangun monumen makam
Michaelangelo, yang dikerjakan oleh perupa tersohor Giorgio Vasari.
Di Indonesia, eksistensi perupa tak kalah
ditonjolkan. Masyarakat Jawa yang mendefinisikan seni sebagai "yang
halus-halus". Dan yang halus, dalam falsafah Jawa adalah adiluhung,
tinggi, dan santun. Dengan begitu, layak untuk dihargai. Oleh karena itu,
pencipta seni adalah sosok halus yang pantas ditingikan. Seseorang yang
menciptakan kerajinan keris dengan perfeksi luk serta pamor istimewa serta
dengan kelembutan citrasa, akan dianggap sebagai Empu. Seorang pemahat gebyok
yang mahir sehingga sanggup menghasilkan motif dan ukiran yang rinci dan luwes
luar biasa, akan disebut Maestro. Begitu pula penyungging wayang kulit yang
piawai, pelukis kaca yang teliti dan kaya inspirasi. Mereka terdudukkan sebagai
warga negara utama. Raden Saleh yang notabene mewarisi semangat seni lukis dari
Belanda, teragungkan sebagai pangeran yang melegenda. Ia amat dihormati sebagai
bukan lelaki biasa.