Di Kudus, kita mengenal Noor Taqim.
Seniman kelahiran 3 Juni 1958 ini telah menunjukkan ke masyarakat bahwa ia
memiliki banyak tangan dan aneka keterampilan. Ia membuat keramik, megolah
tembaga, membentuk patung, memahat kayu, melukis, merancang arsitektur, membuat
gambar-gambar desain. Ia acap disebut seniman, kadang-kadang dianggap perajin,
di lain waktu dicap tukang. Namun ia tak peduli, Justru yang peduli para
penikmat karya-karyanya. Dari sejumlah pameran yang dilakukan, hampir semua
komentar yang muncul berisi pujian, bahwa Taqim adalah perupa yang sama sekali
tak boleh dilupakan. Dari semangat, etos kerja, daya artistik, kemahiran,
progresi wawasan, keluasan jangkauan seni, keragaman jenis ciptaan, serta
keanekaan minatnya. Juga dari keberadaanya menjebol mitos spesialisasi seni
yang selama ini sangat dipercayai banyak orang. Serta kecepatannya dalam
mendahului gagasan Menteri Kebudayaan RI mengenai industri budaya. Karena Taqim
diam-diam telah jauh hari melakukannya.
Dari situ lalu terbersit asumsi : Bukankah
seniman yang seperti Taqim ini yang disebut adimanusia dalam kosmologi Jawa?
Bukankah orang yang berketerampilan bagi Taqim ini yang ditinggikan oleh
peradaban, seperti yang ditulis oleh sejarah?
Begitulah. Bersitan asumsi itu menjadi
cahaya apabila Taqim dapat terus meningkatkan kualitas seni dan daya kerjanya.
Taqim, yang telah beberapa kali pameran tunggal besar-besaran di Jakarta adalah
aset seni budaya yang amat langka. Meskipun apa yang dikerjakannya belum tentu
maksimal. Lantaran ia terus berproses.